top of page

Memilih Moda Transportasi Yang Bersih dan Bersahabat Dengan Alam

​

Oleh Agus Purnomo

​

nissan_leaf-taxi-usa-2013_r3.jpg

Indonesia melaporkan kepada UNFCCC[1], lembaga PBB untuk permasalahan Perubahan Iklim, bahwa salah satu sumber emisi gas rumah kaca, khususnya karbon dioksida (CO2), berasal dari sektor transportasi. Meskipun demikian target pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi tidaklah besar dan upaya pengurangannya ditumpukan pada penggunakan bahan bakar biodiesel, khususnya dengan kebijakan penggunaan solar B-30.

Selain sumber emisi dari moda tranportasi, Indonesia memiliki sumber-sumber emisi gas rumah kaca yang jauh lebih besar[2], dan beberapa diantaranya relatif lebih mudah untuk dikurangi misalnya dengan pengendalian alih guna lahan hutan untuk kegiatan pembangunan ekonomi, atau dengan peningkatan sumber energi (listrik) yang terbarukan misalnya dari pembangkit listrik geothermal, panel surya, angin dan air (PLTA besar, mini maupun mikrohidro).

​

Kembali kepada pokok bahasan moda transportasi, selain menyumbang pada akumulasi gas rumah kaca di atmosfir, moda transportasi dengan motor bakar juga mengotori udara dengan aneka gas racun seperti karbon monoksida CO, sulfur dioksoda SO2, nitrogen dioksida NO2, O3 dan partikel padat ukuruan kecil di udara yang menyebabkan berbagai gangguan kesehatan.

Selama separuh abad, polusi udara diperkotaan, khususnya yang bersumber dari moda transportasi dengan motor bakar, baik yang berbahan bakar bensin maupun solar, di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa tercatat sebagai sumber emisi gas rumah kaca terbesar dan sekaligus merupakan ancaman kesehatan yang serius bagi penduduk di kota-kota besar mereka. Meskipun pencemaran udara di kota-kota mereka teramati menurun drastis, akan tetapi korban akibat pencemaran udara tidak serta merta menurun karena dampak kesehatan akibat polusi udara bersifat jangka panjang.

Dampak kesehatan bagi warga kota yang bekerja di jalan raya atau bertempat tinggal dekat dengan jalan yang padat lalu lintas, ternyata beraneka rupa. Lembaga Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) mencatat beragam penyakit pernafasan[1], seperti asthma, sesak nafas akibat gangguan pada paru-paru, kanker darah (leukimia) dan bahkan sakit jantung, yang kemudian menyebabkan kematian para penderita lebih dini dibandingkan penduduk yang bertempat tinggal jauh dari jalan raya.

Di Jakarta, kualitas udara sepanjang tahun hampir selalu berada pada rentang yang tidak sehat dan membahayakan.  Kesempatan menikmati udara yang cerah dan tidak menyesakkan nafas adalah seusai Jakarta diguyur hujan yang besar seharian, meskipun hanya untuk beberapa jam, atau ketika dilakukan pembatasan mobilitas masyarakat untuk menekan laju penularan virus corona. Meskipun demikian, kualitas udara di Jakarta kembali memburuk seiring dengan mulai meningkatnya volume kendaraan lalu lintas setelah setahun lebih Indonesia dihantam pandemi Covid-19.

​

“Indonesia memiliki jumlah kematian dini tertinggi (lebih dari 50.000 jiwa) yang terkait dengan polusi udara di Asia Tenggara.1 Rata-rata tahunan konsentrasi PM2.5 di Jakarta lebih tinggi empat sampai lima kali dibandingkan standar Pedoman Kualitas Udara WHO,2 jumlah kematian yang dikaitkan dengan PM2.5 di Jakarta terbesar secara nasional (hampir 36 jiwa) per 100.000 jiwa dibandingkan dengan 20 jiwa per 100.000 jiwa di tingkat nasional. Diperkirakan terdapat 5,5 juta kasus penyakit terkait polusi udara yang dilaporkan pada tahun 2010 (hampir 11 kasus per menit) di Jakarta dengan biaya pengobatan langsung yang setara dengan Rp 60,8 triliun pada tahun 2020.”

​

Berdasarkan Laporan dari Vital Strategies dan Institut Teknologi Bandung (ITB)[1] yang dikutip di atas, kondisi pencemaran udara akibat moda transportasi di Jakarta sudah sangat parah, sehingga kehadiran kendaraan bermotor listrik menjadi harapan yang dapat mewujudkan “transportasi nirpolusi”, selain menggenjot sepeda dan berjalan kaki untuk perjalanan yang relatif dekat.

Upaya pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mendukung percepatan penggunaan kendaraan bermotor listrik sudah terlihat nyata. Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Gubernur sudah diterbitkan, permasalahan saat ini adalah sosialisasi peraturan dan konsistensi dalam penerapannya. Untuk itu kehadiran Komunitas Pemilik dan Pemakai Mobil Listrik seperti KOLEKSI, merupakan gayung bersambut yang diharapkan tidak saja mendukung kebijakan pemerintah akan tetapi dapat membantu para pengguna kendaraan bermotor listrik untuk mengatasi berbagai hambatan di awal era mobil listrik di Indonesia..

 

Bila pandemi COVID-19 berhasil mengurangi pencemaran udara di Jakarta, meskipun hanya untuk beberapa bulan, maka beralihnya para pemilik mobil dan sepeda motor bermesin motor bakar menjadi pemilik kendaraan bermotor listrik, akan meningkatkan kualitas udara tidak saja di Jakarta, akan tetapi di semua kota di Indonesia secara permanen. Kegiatan olah raga di ruang terbuka, termasuk bersepeda ke tempat kerja dan jalan sehat di akhir pekan, akan lebih menyehatkan warga kota - seiring dengan maraknya pemanfaatan moda transportasi bermotor listrik.

​

 

bottom of page